Sabtu, 04 Juni 2016

UU No. 24 tahun 1999 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 1999
TENTANG
LALU LINTAS DEVISA DAN
SISTEM NILAI TUKAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa kesinambungan pembangunan nasional harus dipelihara berdasarkan keadilan yang merata dan diarahkan untuk terwujudnya perekonomian nasional yang bernafaskan kerakyatan, mandiri, andal dan mampu bersaing dalam kancah perekonomian internasional yang ditunjang dengan sistem devisa dan sistem nilai tukar yang dapat mendukung tercapainya stabilitas moneter guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa devisa merupakan salah satu alat dan sumber pembiayaan yang penting bagi bangsa dan negara, oleh karena itu pemilikan dan penggunaan devisa serta sistem nilai tukar perlu diatur sebaik-baiknya untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, investasi dan pembayaran dengan luar negeri;
c. bahwa Undang-undang Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan pembaruan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b dan huruf c perlu ditetapkan Undang-undang baru tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Nomor 66 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DEVISA DAN SISTEM NILAI TUKAR.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lalu Lintas Devisa adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk;
2. Devisa adalah aset dan kewajiban finansial yang digunakan dalam transaksi internasional;
3. Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri;
4. Sistem Nilai Tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga mata uang rupiah terhadap mata uang asing.

BAB II
LALU LINTAS DEVISA

Pasal 2
(1) Setiap Penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan Devisa.
(2) Penggunaan Devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk keperluan transaksi di dalam negeri, wajib memperhatikan ketentuan mengenai alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Bank Indonesia.

Pasal 3
(1) Bank Indonesia berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukan oleh Penduduk.
(2) Setiap Penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 4
(1) Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Indonesia menetapkan ketentuan atas berbagai jenis transaksi Devisa yang dilakukan oleh bank.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

BAB III
SISTEM NILAI TUKAR

Pasal 5
(1) Bank Indonesia mengajukan Sistem Nilai Tukar untuk ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan Sistem Nilai Tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

BAB IV
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI
ADMINISTRATIF

Pasal 6
Barangsiapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diancam dengan pidana denda sekurang-kurangnya Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 7
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Indonesia berwenang menetapkan sanksi administratif terhadap Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
a. teguran tertulis; atau
b. denda; atau
c. pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang apabila pelanggaran dilakukan oleh badan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 8
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 32 tahun 1964 tentang Peraturan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2717) dinyatakan tidak berlaku.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 67

Sejarah Hukum Dagang Indonesia

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga. Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . system hukum dagang menurut arti luas adalah hukum dibagi 2 yaitu yang tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang, dan perdagangan itu sendiri dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual kembali barang tersebut pada tempat dan pada waktu tertentu dengan maksud memperoleh keuntungan, karena adanya sistem perdagangan maka munculah hukum dagang. Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.
Pembagian Hukum privat (sipil) ke dalam Hukum Perdata dan Hukum Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asas, tetapi pembagian sejarah dari Hukum Dagang.
Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat asasi, dapat kita lihat dalam ketentuan yang tercantum dalm pasal 1 KUHD yang menyatakan:
"Bahwa peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal-soal yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal yang semata-mata diadaka oleh KUHD itu.”
Kenyataan-kenyataan lain yang membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
1. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal keperdatan ditetapkan dalam KUHD.
Adapun perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad pertengahan di Eropa, kira-kira tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan terjadinya kota-kota Eropa Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genua, Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona dan lain-lain). [2]
Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di kota-kota Eropa Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri sendiri disamping hukum Romawi yang berlaku.
Hukum yang baru ini berlaku bagi golongan pedagang dan disebut "Hukum Pedagang" (Koopmansrecht) . Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis mengadakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan perkara-perkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).
Hukum pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi (berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih bersifat kedaerahan. Tiap-tiap daerah mempunyai hukum pedagangan sendiri-sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan bertambah eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan perlu adanya kesatua hukum diantara hukum pedagang ini.
Oleh karena itu di Perancis pada abad ke 17 diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang; Menteri Keuangan dari Raja Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan "Ordonance Du Commerce" (1673). Dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de la Marine.
[3]
Peraturan ini mengatur hukum pedagang ini sebagai hukum untuk golongan tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance Du Commerce ini pada tahun 1681 disusul degan peraturan lain yaitu "Ordonansi De La Marine" yang mengatur hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan).
Pada tahun 1807 di Perancis di samping adanya "Code Civil Des Francais" yang mengatur Hukum Perdata Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab undang-undang Hukum Dagang tersendiri yakni "Code De Commerce" .
Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat hukum dagang yang dikodifikasikan dalam
Code De Commerce yang dipisahkan dari Hukum Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code De Commerce ini membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun
Code De Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance de Commerce (1673) dan Ordonance de La Marine (1671) tersebut. Kemudian kodifikasi-kodifikasi Hukum Perancis tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga di Netherland pada tahun 1838.
Atas perintah Napoleon, hukum yang berlaku bagi pedagang dibukukan dalam sebuah buku Code De Commerce (tahun 1807). Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni
Code Civil dan Code Penal. Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di Belanda dan akhirnya dibawa ke Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code De Commerce (Hukum Dagang) berlaku di Negeri Belanda. [4]
Dalam pada itu Pemerintah Netherland menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang diselesaikan di pengadilan biasa.
Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Pada akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff merencanakan suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD Nederland. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil dijadikan Undang-Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada 1896).
Dan berdasarkan asas Konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Pada tahun 1906 itulah Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan Kepailitan yang berdiri sendiri (di luar KUHD); sehingga semenjak tahun 1906 KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua Kitab saja, yakni: "Tentang Dagang Umumnya" dan Kitab II berjudul
"Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Tertib dari Pelayaran".

Daftar Pustaka :
paramitaputry.blogspot.com/2013/07/makalah-hukum-dagang-sejarah-lahirnya.html?m=1
kubuskecil.blogspot.com/2012/12/pengantar-hukum-dagang-indonesia.html?m=1
theresiaavyanti.blogspot.com/2015/04/sejarah-hukum-dagang-di-indonesia.html?m=1